Jumat, 02 Juni 2017



     PERPUSTAKAAN  
dan
    PERKEMBANGANNYA DI  INDONESIA



Oleh  :  AGUS WAHYU PRIUTOMO
A.  Pengertian Perpustakaan
       Perpustakaan dibentuk dari kata dasar “pustaka”, yang secara harfiah berarti kitab atau buku. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perpustakaan dimaknai sebagai kumpulan buku-buku. Kata perpustakaan yang dalam bahasa Inggris disebut library berasal dari bahasa Latin liber atau libri yang dalam perkembangannya kemudian berubah menjadi librarius, yang maknanya tentang buku (Sulistyo-Basuki dalam Suwarno, 2007). Istilah perpustakaan dalam berbagai bahasa, disebut dengan : bibliotheek (Belanda), bibliothek (Jerman), bibliotheque (Perancis), bibliotheca (Spanyol/Portugis), yang semua itu berasal dari bahasa Yunani, yaitu biblia.
Beberapa pengertian tentang perpustakaan, antara lain :
1.   a room or building where a collection of books and newspapers, or things such as films or records is kept to be used by members (sebuah ruangan atau bangunan yang koleksi buku-buku dan surat kabar-surat kabar, atau benda-benda  seperti  film  atau  rekaman-rekaman, terpelihara  dengan  baik untuk digunakan oleh para anggotanya)  (Chambers Essential English Dictionary, 1995).
  1. a collection of books, or a similar collection of things such as films or records (suatu koleksi dari buku-buku atau semacam koleksi dari benda-benda seperti film atau rekaman-rekaman) (Chambers Essential English Dictionary, 1995)
  1. kumpulan   buku,  manuskrip   dan   bahan   pustaka   lainnya  yang  digunakan  untuk   
keperluan  studi  atau  bacaan, kenyamanan atau kesenangan (Webster’s Third Edition
International Dictionary, 1961)  
  1. kumpulan materi cetak dan media non cetak dan atau sumber informasi dalam komputer, yang disusun secara sistematik untuk digunakan pemakai (International Federation of Library Associations and Institutions/IFLA)
  1. sebuah ruangan, bagian dari sebuah gedung ataupun gedung itu sendiri, yang digunakan untuk menghimpun buku dan terbitan yang biasanya disimpan menurut tata susunan tertentu untuk digunakan pembaca, bukan untuk dijual (Sulistyo Basuki, dalam Sumiati dan Arief, 2004)
  1. Unit Perpustakaan, dokumentasi dan informasi adalah unit kerja yang memiliki sumberdaya manusia, ruangan khusus dan koleksi bahan pustaka, sekurang-kurangnya 1000 judul dari berbagai disiplin ilmu yang sesuai dengan jenis perpustakaan yang bersangkutan, dan dikelola menurut sistem tertentu (Keputusan Menteri  Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Republik Indonesia No. 132/KEP/M.PAN/12/2002). Perpustakaan adalah institusi pengelola koleksi karya tulis, karya cetak, dan/atau karya rekam secara profesional, dengan sistem yang baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi dan rekreasi para pemustaka (Undang-Undang Republik Indonesia No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan)
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perpustakaan adalah merupakan :
v  koleksi yang terdiri dari kumpulan materi cetak seperti buku, majalah, surat kabar atau  media  non  cetak  berupa  film, disket dan lain-lainnya, yang terpelihara dengan baik  dan  digunakan  untuk  keperluan  studi,  bacaan  maupu n sumber infomasi bagi yang membutuhkan
v  ruangan bagian dari sebuah gedung ataupun gedung itu sendiri, yang ditata secara khusus untuk menyimpan, memelihara dan menggunakan koleksi-koleksi yang ada baik yang berbentuk materi cetak maupun  media non cetak.     
v  unit kerja atau institusi pengelola koleksi baik  berupa materi cetak maupun media non cetak, yang diselenggarakan secara profesional, dengan sistem yang telah dibakukan.
Berkembangnya    teknologi    informasi    berdampak     pada    penyelenggaraan 
perpustakaan antara lain, penggunaan komputer untuk pengembangan, pengolahan maupun pemeliharaan koleksi yang dimiliki, sehingga bentuk perpustakaanpun berubah menjadi ”perpustakaan elektronik” (eletronic library), yakni  perpustakaan yang koleksinya berupa produk elektronik, seperti pita magnetik, disket dan lain-lainnya. Disebut juga sebagai ”perpustakaan digital” (digital library), karena koleksi yang ada cenderung berbentuk digital.

B.  Perkembangan Perpustakaan di Indonesia
a.   Era Sebelum Penjajahan                                                                                                                Bangsa  Indonesia  telah  lama  mengenal  peradaban baca tulis. Prasasti Yupa di Kutai Kalimantan Timur yang diperkirakan berasal dari abad ke V Masehi, merupakan bukti sahih tentang keberadaan peradaban tersebut (Almasyari, 2007).
       Pada era kerajaan Hindu-Budha, banyak lahir mahakarya para empu seperti Negarakertagama, Arjunawiwaha, Mahabharata, Ramayana, Sutasoma dll. Karya-karya tersebut merupakan hasil interaksi antara kebudayaan khas Indonesia dengan budaya asing, utamanya India. Pada saat itu kerajaan-kerajaan telah memiliki semacam pustaloka, yakni tempat untuk menyimpan beragam karya sastra ataupun kitab-kitab yang ditulis oleh para pujangga. Hanya saja pemanfaatan naskah-naskah tersebut bukan untuk konsumsi masyarakat (Sumiati dan Arief, 2004).
       Perkembangan perpustakaan mengalami pasang naik di era kerajaan Islam. Masuknya budaya Arab yang kemudian berinteraksi dengan kebudayaan Melayu semakin memperkaya khasanah budaya Indonesia. Pada masa ini banyak dihasilkan karya-karya besar seperti, kitab Bustanus Salatin, Hikayat Raja-Raja Pasai, Babad Tanah Jawi dll. Kitab-kitab tersebut biasanya disimpan di dekat keraton atau masjid, yang menjadi pusat aktivitas kerohanian dan kebudayaan.
b.   Era Pemerintahan Hindia- Belanda
       Masuknya Bangsa Belanda dengan membawa teknologi bidang percetakan, semakin mempercepat  perkembangan budaya baca tulis di Indonesia. Di samping mendatangkan mesin cetak, mereka membangun gedung perpustakaan di beberapa daerah. Salah satu yang sampai sekarang masih eksis, adalah Kantoor voor de Volkslektuur  yang kemudian berganti nama menjadi Balai Pustaka.
       Semasa pemerintah Belanda menjalankan politik etis, Commissie voor de Volkslektuur merupakan lembaga yang berperan dalam pemberdayaan perpustakaan. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan, antara lain menambah jumlah perpustakaan di desa dan sekolah kelas dua di Jawa dan Madura, melengkapi koleksinya dengan terbitan-terbitan dalam bahasa Jawa, Sunda, Melayu dan Madura.
c.   Era Pemerintahan Jepang
       Ketika Jepang menguasai Indonesia, mereka mengeluarkan kebijakan berupa larangan penggunaan buku-buku yang ditulis dalam bahasa Inggris, Belanda dan Perancis di sekolah-sekolah. Akibatnya, banyak buku terutama yang menggunakan bahasa Belanda dimusnahkan. Kondisi ini justru menguntungkan bagi perkembangan perpustakaan di Indonesia, karena dengan kebijakan tersebut buku yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia jumlahnya menjadi semakin meningkat. Beberapa surat kabar yang terbit dengan menggunakan bahasa Indonesia pada saat itu, antara lain Suara Asia, Cahaya Asia dll.
d.   Era Pemerintahan Republik Indonesia
       Di tengah konsentrasi untuk menghadapi invasi pasukan Inggris dan Belanda dan pemberontakan di beberapa daerah, pada tahun 1948 pemerintah mendirikan Perpustakaan Negara Republik Indonesia di Yogyakarta. Banyaknya permasalahan yang dihadapi, mengakibatkan perkembangan perpustakaan di Indonesia menjadi lambat. Ketika kondisi negara mulai mapan, pada kurun waktu tahun 1950-1960 pemerintah Republik Indonesia mulai mengembangkan perpustakaan melalui pendirian Taman Pustaka Rakyat /TPR (Sumiati dan Arief, 2004).
Pada tahun 1956 berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 29103, Pepustakaan Negara didirikan di beberapa wilayah di Indonesia denga tujuan untuk membantu perkembangan perpustakaan dan menyelenggarakan kerjasama antar perpustakaan yang ada. Perhatian Pemerintah terhadap pengembangan perpustakaan terus meningkat. Pada tahun 1969 dialokasikan dana untuk mendirikan Perpustakaan Negara di 26 Provinsi yang berfungsi sebagai Perpustakaan Wilayah di bawah binaan Pusat Pembinaan Perpustakaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
       Berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 0164/0/1980, pada tahun 1980 didirikan Perpustakaan Nasional, sebagai Unit Pelaksana Teknis bidang perpustakaan di lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kartosedono (Sumiati dan Arief, 2004) menyatakan bahwa Perpustakaan Nasional merupakan hasil integrasi dari Perpustakaan Sejarah Politik dan Sosial, Bidang Bibliografi dan Deposit  Pusat Pembinaan Perpustakaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Perpustakaan Museum Nasional dan Perpustakaan Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
       Dalam perkembangannya, melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia No.11 Tahun 1989, Perpustakaan Nasional yang kala itu merupakan unit pelaksana teknis di lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, berubah menjadi Lembaga Pemerintah Non Departemen, yang langsung bertanggungjawab kepada Presiden. Pembentukan organisasi ini merupakan penggabungan antara Perpustakaan Nasional dengan Perpustakaan Wilayah yang ada di 27 provinsi. Pada tahun 1997 berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 50, Perpustakaan Nasional diubah namanya menjadi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, yang berlaku sampai dengan saat ini.
Seiring dengan pelaksanaan Otonomi Daerah, berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 67 Tahun 2000, Perpustakaan Nasional Provinsi menjadi perangkat daerah dengan sebutan Perpustakaan Umum Daerah. Mulai saat itu penyelenggaraan perpustakaan diserahkan kepada kebijakan Pemerintah Daerah masing-masing. Diberlakukannya Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan diharapkan dapat lebih meningkatkan perkembangan perpustakaan di Indonesia.


DAFTAR  PUSTAKA

Almasyari,  Abdul Kharis. 2007. Maju dengan Membaca. Wahjudi Djaja ed. Klaten : Cempaka Putih

Hassan, Fuad. 2004. Perpustakaan Sebagai Pusat Pembelajaran dan Agen Perubahan Masyarakat. dalam Proceeding Rakor Pengembangan Perpustakaan Sekolah dan Masyarakat. Jakarta : Perpusnas RI

Higgleton, Elaine and Anne Seaton ed. 1995. Chambers Essential English Dictionary. Edinburgh : Chambers Harrap Publishers Ltd

Sjahrial-Pamuntjak, Rusina. 2000. Pedoman Penyelenggaraan Perpustakaan. Jakarta : Djambatan

Sjahrial-Pamuntjak, Rusina. 2000. Pedoman Penyelenggaraan Perpustakaan. Jakarta : Djambatan

Sumiati, Opong dan Nurahmah Arief. 2004. Pengantar Ilmu Perpustakaan. Hernandono ed. Jakarta : Perpustakaan Nasional Republik Indonesia

Susilo, Frans dkk. 2007. Pengelolaan Perpustakaan.  F. Rahayuningsih. ed. Yogyakarta : Graha Ilmu

Suwarno, Wiji. 2007. Dasar-Dasar Ilmu Perpustakaan Sebuah Pendekatan Praktis. Yogyakarta : AR-Ruzz Media
Oleh:
Muhammad Bahrudin dan Dwi Antoningtyas, Ilmu Perpustakaan dan Informasi, UI
Banjir informasi | personal.psu.edu
Banjir informasi | personal.psu.edu
A.  Pendahuluan
Perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat, menuntut pustakawan dan perpustakaan untuk berjuang dan bekerja lebih keras lagi dalam mengembangkan pengetahuan, keterampilan serta keahlian dalam bidang perpustakaan, dokumentasi dan informasi, serta teknologi informasi. Maka mau tidak mau pustakawan harus berani dan bersedia melakukan terobosan dan perubahan agar dapat mengoptimalkan penggunaan teknologi informasi pada perpustakaan yang dikelolanya. Penguasaan semua materi yang saya sebut ini akan menjadikan pustakawan semakin profesional dalam melaksanakan tugasnya.
Status keprofesionalan pustakawan memang bertolak dari diri pribadi masing-masing. Pertanyaan kita sekarang adalah : “Apakah benar pustakawan kita mau menjadi profesional serta adakah kemauan dan upaya apa saja yang sudah dilakukan?” Pemerintah kita telah mengakui pustakawan adalah pejabat fungsional khusus. Dengan pengakuan ini berarti telah dibuka lebar pintu keprofesionalan pustakawan. Oleh sebab itu upaya membangun citra diri pustakawan (image branding) saat ini menjadi keharusan. Namun pengakuan status keprofesionalan pustakawan pada akhirnya sangat tergantung pada penilaian masyarakat luas.
B. Isu tentang Profesionalitas Pustakawan
Salah satu peran pustawawan yang berkaitan dengan status keprofesionalitasannya adalah tentang penguasaan pada strategi penelusuran informasi, khususnya yang dibahas di sini adalah adalah informasi di internet. Masyarakat awam pengguna jasa layanan informasi (user) saat ini dimanjakan dengan melimpah-ruahnya informasi yang tersedia pada pangkalan data terpasang (online database). Kemudian masalah yang sering dialami oleh user ini adalah keefektifan dan efisiensi informasi yang didapatkan yang kadang tidak sesuai dengan apa yang diinginkan. Hal itu menimbulkan kebingungan dan ketidakpuasan pengguna jasa layanan informasi, khususnya internet.Fenomena tersebut menjadi tantangan bagi pustakawan, yang telah disinggung di atas, berkaitan dengan keprofesionalitasannya. Bagaimana pustakawan harus menyikapi fenomena tersebut? Purwono (2008), dalam makalahnya yang berjudul “Strategi Penelusuran Informasi Melalui Internet” berusaha menjawab tantangan tersebut. Dalam makalah tersebut diungkapkan bahwa fasilitas online tidak akan maksimal penggunaannya kalau tidak menggunakan strategi atau kemampuan menelusur yang baik, yaitu dengan memanfaatkan fasilitas penelusuran yang tersedia.
Saya kemudian mencoba menganalisis mengenai apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh penulis makalah tersebut terkait dengan isu profesionalitas seorang pustakawan saat ini. Makalah tersebut disampaikan dalam seminar yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan Ilmu Perpustakaan, Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Jakarta, tanggal 30 April 2008. Beliau mencoba menjawab tantangan yang dihadapi oleh para pustakawan dewasa ini yang dianggap kurang aktif dalam memberikan awareness mengenai strategi penelusuran informasi. Pustakawan dianggap hanya “makan gaji buta” dan kurang peduli pada kebutuhan pengguna. Hal inilah yang kemudian justru menimbulkan berkurangnya penghargaan kepada profesi pustakawan di Indonesia.
Akantetapi Purwono menjawab semua tantangan itu dengan sebuah gagasan yang walaupun sudah sering digembar-gemborkan sejak lama tapi minim dalam pelaksanaanya di Indonesia, yaitu sebuah artikel mengenai strategi penelusuran informasi di internet. Dalam makalah tersebut, setidaknya masyarakat (user) akan sadar juga bahwa dalam menelusur informasi di internet secara efektif dan efisien tidak hanya sembarang saja, melainkan harus dengan langkah atau strategi yang efektif dan efisien pula.
C. Analisis Makalah “Strategi Penelusuran Informasi Melalui Internet”
Di awal makalahnya, Purwono memaparkan mengenai pangkalan data (online database) berbayar dan tidak berbayar. Beliau ingin menjelaskan bahwa dalam dunia online, ada pangkalan data yang ketika kita mengaksesnya ada yang harus dengan melanggan (dalam artian membayar) dulu dan ada juga yang tanpa biaya berlangganan. Di sini juga diberikan mengenai contoh-contoh pangkalan data, baik yang berbayar maupun yang free, berikut dengan alamat website-nya. Hal ini tentu akan menjadi panduan bagi pengguna dalam mencari informasi yang sesuai dengan kebutuhannya.
Kemudian, Purwono juga memaparkan permasalahan yang dihadapi mengenai pemanfaatan fasilitas online, khususnya yang dilanggan oleh institusi atau perguruan tinggi. Pada bagian ini, dijelaskan bahwa pemnafaatan fasilitas online (online journal) di lingkungan akademis masih sangat minim, tidak sebanding dengan jurnal-jurnal yang sudah dilanggan. Masalah tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya yaitu sosialisasi. Sosialisasi ini harus dilakukan karena fasilitas ini tersembunyi (hidden) dan lebih baik lagi dalam sosialisasi ini mengadakan pertemuan dengan calon pengguna untuk mencoba langsung jurnal online yang dilanggan agar lebih mengetahui keberadaan fasilitas tersebut.
Selain itu, masalah evaluasi juga menjadi perhatian penulis terkait pemanfaatan fasilitas online ini. Evaluasi ini sangat diperlukan untuk mengetahui seberapa besar tingkat keterpakaian jurnal online yang sudah dilanggan dengan biaya yang cukup besar. Dengan adanya evaluasi ini, juga akan dapat mengidentifikasi kondisi pemanfaatan jurnal online, faktor-faktor yang memmpengaruhi keinginan pengguna untuk memanfaatkan jurnal online serta mengidentifikasi hambatan yang dialami pengguna dalam pemanfaatan jurnal online.
Kemudian terkait dengan strategi penelusran informasi di internet ini, sangat diperlukan karena alasan-alasan sebagai berikut;
  1. Informasi yang tersedia sangat banyak, luas dan beraneka ragam
  2. Untuk memperoleh informasi yang relevan
  3. Untuk menghemat waktu pencarian (efisiensi waktu)
  4. Untuk mempermudah pencarian (efektivitas pencarian)
Saya sendiri ketika membaca makalah ini seperti merasakan kegelisahan dan ada nada kekecewaan dari penulis yang notabene sebagai pustakawan terhadap dunia kepustakawanan di Indonesia saat ini. Masih banyak pustakawan yang kurang memahami mengenai tugasnya melayani pengguna. Mungkin permasalahan yang diangkat penulis dalam makalah tersebut, masih dianggap sesuatu yang sepele oleh banyak pustakawan di Indonesia. Padahal menurut saya, justru masalah sepele seperti inilah yang kadang membingungkan pengguna ketika tidak tahu-menahu solusi yang harus diterapkannya. Terlebih lagi, sebagian besar masyarakat adalah pengguna jasa layanan internet dalam menelusur informasi yang diinginkannya. Agar informasi yang didapatkan bisa relevan (memiliki relevansi tinggi) dengan apa yang dibutuhkannya tentunya memerlukan strategi yang efektif dan efisien. Pustakawan sebagai pengelola jasa dan profesional informasi harus bisa menjawab tantangan ini dengan hati dan mata terbuka. Semua itu tentunya untuk semakin meningkatkan simbiosis mutualisme antara pustakawan dengan pengguna (user).
D. Kesimpulan
Semakin pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan beraneka ragam teknologi canggih membawa perubahan pada masyarakat dan individu dan ini tentu akan mempengaruhi perilaku masyarakat dalam memperoleh informasi. Terkait hal ini tentunya dalam penelusuran informasi di internet oleh pengguna.
Kualitas pelayanan harus selalu diperhatikan dan dirasakan oleh pengguna, sehingga dapat menimbulkan suatu sikap tertentu dari pengguna terhadap perpustakaan. Persepsi pengguna ini perlu diketahui oleh perpustakaan untuk melihat apakah fasilitas dan pelayanannya telah memenuhi kebutuhan dan harapan pengguna. Selain itu kerjasama yang baik antar petugas/pustakawan dapat meningkatkan kinerja perpustakaan. Diantara berbagai faktor yang mempengaruhi kualitas jasa pelayanan yaitu sikap pegawai, komunikasi, sumber daya fisik dan kepribadian dalam layanan dengan demikian dapat membantu para pengambil keputusan guna menyusun strategi dalam upaya meningkatkan kualitas jasa pelayanan informasi di perpustakaan.
Terlebih lagi yaitu kepedulian pustakawan dalam melayani pengguna secara profesional dan totalitas dalam menjalankan profesinya akan berdampak positif bagi interaksi yang terjalin dengan pengguna. Pustakawan harus lebih care dengan kebutuhan pengguna dan tidak menyepelekan masalah sekecil apapun yang menyangkut kehausan pengguna pada informasi yang relevan dan berkualitas.
Referensi:
Pendit, Putu Laxman. (2008). Perpustakaan digital dari A sampai Z. Jakarta: Cita Karyakarsa Mandiri
Pendit, Putu Laxman. (2005), [et al.]. Perpustakaan Digital: perspektif Perpustakaan Perguruan Tinggi Indonesia. Depok: Perpustakaan Universitas Indonesia
Purwono. (2008). Makalah: Strategi Penelusuran Informasi Melalui Internet. Depok: Perpustakaan MBRC, FISIP UI

Museum: Membangkitkan Era Keterbukaan Akses Informasi Koleksi Visual Via Online

Oleh: Muhammad Bahrudin
Pustakawan di Badan Standardisasi Nasional
Tom Baione, direktur Departemen Layanan Perpustakaan di American Museum of Natural History, terlihat melalui koleksi luas museum gambar. Museum akan membuka database arsip digital koleksi khususnya kepada publik. | Sumber: nytimes.com
Sumber: nytimes.com
Ketika berbicara keterbukaan akses informasi, pikiran kita tidak hanya tertuju kepada institusi perpustakaan. Lembaga informasi sangat luas pengertiannya dan dalam bagian ini, saya mencakup pada satu lembaga informasi yang di negeri kita tercinta ini masih minim pengelolaannya yaitu museum. Museum sejauh ini, masih diidentikkan sebagai lumbung barang-barang kuno, etalase benda-benda peninggalan sejarah dan stigma-stigma kerdil seperti itu. Padahal jika dieksplor lebih jauh dan mendalam lagi, fungsi dan peran museum itu sangat luas.
Fungsi museum sebenarnya tidak jauh berbeda dengan perpustakaan maupun lembaga informasi lainnya, yaitu sebagai gate bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi sesuai dengan kebutuhan. Namun, yang unik dari museum adalah, museum memiliki koleksi yang lebih luas tidak terpaku pada koleksi tercetak atau online seperti buku, jurnal, koleksi multimedia dan sebagainya. Museum menyediakan koleksi yang merepresentasikan tema dan karakteristik dari museum itu sendiri, misal: museum keramik akan menyediakan koleksi berbagai macam benda keramik dan diperinci dengan beraneka kisah serta serba-serbi perkeramikan, museum wayang akan menyediakan koleksi yang berkaitan dengan wayang, dan sebagainya.
Jika di Indonesia museum bisa dimanfaatkan sebaik mungkin dari segi fungsionalitasnya, bukan tidak mungkin problema museum dewasa ini yang cenderung minim peminat akan meningkat drastis. Museum harus berbenah mengikuti era teknologi informasi, museum harus berlari dengan segala aspek perkembangan zaman agar tidak tertinggal dari pergerakan arus kebutuhan infromasi penggunanya.
Berikut saya sajikan mengenai pemaksimalan teknologi informasi dalam meningkatkan fungsi museum bagi masyarakat. Sebagai contoh adalah American Museum of Natural History:
Tom Baione, direktur Departemen Layanan Perpustakaan di American Museum of Natural History, terlihat melalui koleksi luas museum gambar. Museum akan membuka database arsip digital koleksi khususnya kepada publik. | Sumber: nytimes.com
Tom Baione, direktur Departemen Layanan Perpustakaan di American Museum of Natural History, terlihat melalui koleksi luas museum gambar. Museum akan membuka database arsip digital koleksi khususnya kepada publik. | Sumber: nytimes.com
Anna Rybakov, manajer laboratorium digital museum, memegang sebuah gambar pada piring kaca. Museum ini tengah mendigitalisasi katalog slide, cetakan dan negatif film. | Sumber: nytimes.com
Anna Rybakov, manajer laboratorium digital museum, memegang sebuah gambar pada piring kaca. Museum ini tengah mendigitalisasi katalog slide, cetakan dan negatif film. | Sumber: nytimes.com
Ms Rybakov memindai gambar dari arsip museum. 7.000 gambar yang akan dibuat tersedia secara online di images.library.amnh.org/digital yang sebelumnya hanya dapat diakses di perpustakaan penelitian lantai empat museum. | sumber: nytimes.com
Ms Rybakov memindai gambar dari arsip museum. 7.000 gambar yang akan dibuat tersedia secara online di images.library.amnh.org/digital yang sebelumnya hanya dapat diakses di perpustakaan penelitian lantai empat museum. | Sumber: nytimes.com
28history-slide-VU8W-jumbo
Slide pemandangan berwarna tentang Roy Chapman Andrews dan George Olsen di “nest of the even dozen dinosaur eggs” di Asia Expedition Ketiga di Mongolia pada tahun 1925. | Sumber: nytimes.com
Sebuah film negatif dari koleksi menunjukkan pengantin Yakut dari keluarga sejahtera di Rusia pada tahun 1902.
Sebuah film negatif dari koleksi menunjukkan pengantin Yakut dari keluarga sejahtera di Rusia pada tahun 1902. | Sumber: nytimes.com
28history-slide-WPO0-jumbo
Koleksi ini juga mencakup negatif film dari tiga gadis Seminole di Everglades di Florida pada tahun 1907. | Sumber: nytimes.com
Pengunjung memiliki akses ke behind-the-scenes images. Dalam film negatif ini, pekerja dipasang model untuk "The Forest Floor" yang dipamerkan di museum pada tahun 1958.
Pengunjung memiliki akses ke behind-the-scenes images. Dalam film negatif ini, pekerja dipasang model untuk “The Forest Floor” yang dipamerkan di museum pada tahun 1958. | Sumber: nytimes.com
Ini piring kaca yang menunjukkan negatif  film beberapa pekerja memindahkan bagian dari pohon sequoia raksasa, "Big Tree," ke dalam Hall of North American Forests pada tahun 1912
Ini piring kaca yang menunjukkan negatif film beberapa pekerja memindahkan bagian dari pohon sequoia raksasa, “Big Tree,” ke dalam Hall of North American Forests pada tahun 1912 | Sumber: nytimes.com
Oleh: Latief Akhmad
gentasari.or.id, 29 Maret 2012
sumber: http://www.libology.com
Keberadaan perpustakaan komunitas tak bisa dilepaskan dari hakikat perpustakaan itu sendiri. Konsep perpustakaan muncul sebagai akibat dari aktivitas berpikir manusia. “Cogito ergo sum,” kata Descartes, saya berpikir maka saya ada. Lalu, aktivitas pemikiran manusia menghasilkan pengetahuan, estetika, rasa, dan karya.
Pengetahuan manusia bisa dibedakan dalam dua kelompok, pengetahuan yang masih berada dalam benak seseorang (tacit knowledge) dan pengetahuan yang sudah direkam (explicit knowledge), misalnya dalam bentuk buku, keping cakram (CD), peta, dan lainnya. Perpustakaan muncul sebagai sebuah metode atau cara untuk mengorganisasi pengetahuan eksplisit manusia supaya bisa bermanfaat bagi manusia lainnya, terutama untuk menyelesaikan permasalahan sehari-hari.
Berbeda dengan perpustakaan lainnya, kunci perpustakaan komunitas adalah komunitas itu sendiri. Komunitas di sini saya pahami adalah kumpulan manusia dan lingkungannya dalam suatu spasial tertentu. Luasan spasial bisa berupa grumbul, dusun, desa, ataupun kecamatan. Perpustakaan komunitas didirikan oleh komunitas, dimanfaatkan oleh komunitas, dan koleksinya dikembangkan dari kreativitas atau pengelolaan pengetahuan komunitas. Jadi, perpustakaan komunitas adalah sebuah usaha komunitas untuk mengelola pengetahuan yang ada di komunitasnya, baik pengetahuan yang sudah terekplisitkan maupun pengetahuan yang masih berupa tacit.
Pengelolaan pengetahuan ekplisit komunitas di perpustakaan komunitas biasanya mengacu pada sistem yang sudah baku atau standar, misalnya Dewey Decimal Catalog (DDC). oleksi dipilah berdasarkan kelas dan subkelas, supaya kegiatan temu kembali koleksi mudah dilakukan. Penerapan metode DDC tidak mutlak, namun metode itu akan memudahkan komunikasi data antarperpustakaan. Komunikasi data antarperpustakaan hampir tak dapat dielakkan dalam pengelolaan perpustakaan komunitas karena sebagian dari mereka memiliki keterbatasan dalam pengadaaan dan pengembangan koleksi pustaka.
Sementara itu, pengelolaan pengetahuan yang masih berupa tacit dilakukan dengan kegiatan Mengenal Desa Sendiri (MDS). Inisiatif itu dilakukan oleh Perpustakaan Komunitas mBrosot, Kulonprogo, dengan mengajak anak-anak dan remaja bersepeda ria berkeliling kampung untuk membuat peta desa. Mereka juga menulis pelbagai hal yang menarik bagi mereka. Sementara itu, Perpustakaan Komunitas Desa Serut menjadi ruang bagi warga untuk berdiskusi membahas pelbagai masalah pertanian. Kegiatan itu menghasilkan banyak berkas, ada yang berupa cerita, gagasan, sejarah desa, peta, termasuk tatacara bertani. Akhirnya, muncul inisiatif untuk mematenkan benih padi organik yang mereka hasilkan.
Berkas-berkas itu merupakan pengetahuan anggota komunitas yang sudah direkam atau tereksplisitkan. Hal itu menguatkan konsep perpustakaan komunitas sebagai metode pengelolaan pengetahuan komunitas, bukan mendatangkan atau pengadaan koleksi buku sebanyak-banyaknya. Konsep di perpustakaan di atas mengakibatkan jarak tindakan konsumsi dan produksi pengetahuan sangat tipis. Di perpustakaan komunitas, pengguna perpustakaan tidak sekadar mengkonsumsi bahan pustaka, tapi juga memproduksinya.
Para pegiat Gerakan Desa Membangun (GDM) bisa melirik pengembangan perpustakaan komunitas sebagai metode pengelolaan pengetahuan desa. Warga diajak mendokumentasikan potensi dan sumber daya desa, selanjutnya perpustakaan mengelola karya-karya tersebut sebagai koleksi perpustakaan. Bila tindakan konsumsi dan produksi pengetahuan makin tipis, maka perpustakaan komunitas telah menjelma menjadi media komunitas untuk memperbaiki keberadaban komunitas.

Dinamika Perpustakaan Modern: Mendobrak Pakem Perpustakaan Tradisional

Oleh: Muhammad Bahrudin
Pustakawan di Badan Standardisasi Nasional
Sumber: bedroomkitchen.com
Sumber: bedroomkitchen.com
Pernahkah Anda mendengar lelucon tua tentang perpustakaan berikut ini?

Seorang bocah masuk ke perpustakaan dan meminta burger dan kentang goreng. “Anak muda!” Teguran pustakawan membuatnya terkejut. “Anda berada di perpustakaan.” Jadi kemudian, anak itu mengulangi perintahnya, hanya saja kali ini dia sambil berbisik.
Begitu banyak yang telah berubah dalam perpustakaan dalam beberapa tahun terakhir. Adegan semacam ini mungkin tidak begitu terlalu mengada-ada. Banyak perpustakaan telah menjadi pusat komunitas yang ramai di mana berbicara keras-keras dan bahkan makan benar-benar bisa diterima.
Sebagai contoh Perpustakaan Umum Boston, yang didirikan pada tahun 1848 dan merupakan perpustakaan umum tertua di negara tersebut, bergerak cepat ke arah itu. Dengan renovasi besar yang telah berlangsung, lembaga ini melanggar dari pakem perpustakaan pada umumnya untuk menunjukkan perubahan yaitu sisi yang lebih ramah sisi ke pengunjung. Rancangan interior meliputi ruang ritel baru, bagian souped-up untuk remaja, dan bangku bar tinggi di mana pengunjung dapat membawa laptop mereka dan melihat keluar ke bagian atas Boylston Street.
“Anda akan dapat duduk di sini dan bekerja sambil melihat dunia berlalu,” kata Amy Ryan, presiden perpustakaan, pada tur baru-baru. “We’re turning ourselves outward,” lanjutnya.
Rencana tersebut mungkin mengejutkan bagi siapa pun yang berpikir bahwa di era digital, perpustakaan yang mereka pikir ibarat suaka sunyi dari masa lalu, telah melangkah lebih jauh.
Penggunaan perpustakaan telah meningkat di seluruh negeri untuk berbagai alasan, para pustakawan mengatakan, termasuk resesi, ketersediaan teknologi baru dan karena perpustakaan telah me-reimagining sendiri. Di antaranya yang lebih inovatif adalah Perpustakaan Umum Chicago, yang menawarkan maker lab gratis, dengan akses ke printer 3-D, pemotong laser dan mesin penggilingan. The Lopez Island Library di Washington State menawarkan instrumentasi musik dalam mode checkout-nya. Di New York, Perpustakaan Pertanian di Cicero, bagian dari Perpustakaan Umum Northern Onondaga, meminjamkan sebidang tanah yang pelanggan dapat belajar praktik penanaman organik di sana.
Seiring dengan inovasi baru tersebut, perpustakaan menyajikan tampilan secara lebih terbuka dan dramatis terhadap dunia luar, menggunakan banyak kaca, menyediakan tempat duduk yang nyaman dan memungkinkan untuk membawa makanan dan minuman.
“Ini adalah apa yang terjadi di banyak perpustakaan, kreasi yang makin terbuka dan lingkungan fisik yang nyaman,” kata Joe Murphy, seorang pustakawan dan konsultan perpustakaan di Reno, Nev. “Gagasan tersbut tidak hanya untuk meningkatkan kehadiran tetapi untuk memaksimalkan kreativitas masyarakat.”
Libraries have long facilitated the “finding” of information, he said. “Now they are facilitating the creating of information.”
Memang benar bahwa saat ini perpustakaan tidak hanya memfasilitasi orang untuk menemukan informasi tapi lebih dari itu sekarang perpustakaan juga memfasilitasi mereka dalam menciptakan informasi. Sebagai contoh lagi, di Perpustakaan Boston yang baru, disana menyediakan Teen Center (pusat remaja) yang kemudian diberi nama dengan Ruang Homago di mana para remaja bisa ‘hang out‘, main-main dan ‘geek out‘. Ruang ini juga dilengkapi dengan lounge, ruang bermain, lab digital, restoran, software dan hardware untuk merekam musik dan ruang komik. Desain ruang yang demikian biasa disebut dengan eco urban chic.
Sumber: bedroomkitchen.com
Sumber: bedroomkitchen.com
Pada era 70-an, pengunjung perpustakaan akan datang ke pustakawan, mengajukan pertanyaan dan sang pustakawan akan mencoba menemukan jawaban. Namun, sekarang ini sebaliknya, pengunjung yang datang ke perpustakaan datang dengan jutaan informasi yang dia dapatkan di internet dan mereka meminta pustakawan untuk membantu menyaring informasi yang paling relevan untuk mereka. Paling tidak, perpustakaan masih menyediakan buku ketika satu perpustakaan di San Antonio misalnya, telah melakukan lebih jauh dari itu. The BiblioTech bisa jadi hanyalah sebuah jajaran komputer, e-reader, dan ipad bar.
Tujuannya adalah sama dengan perpustakaan tradisional yaitu untuk membantu pelanggan mengakses informasi. Tapi apakah masyarakat akan mengambil untuk itu adalah pertanyaan lain. The Santa Rosa Library, perpustakaan cabang di Tucson beralih menjadi perpustakaan digital pada tahun 2002, tetapi beberapa tahun kemudian, mereka membawa kembali buku. Sebabnya tak lain karena banyak konten tidak tersedia secara digital, dan pengunjung ingin koleksi tercetak. Ketika e-book tengah mencari popularitas, koleksi tercetak telah dan masih menjadi raja. Pada 2012, menurut Pew Research Center, 28 persen orang dewasa secara nasional membaca e-book, sementara 69 persen membaca buku cetak dan hanya 4 persen yang membaca e-book saja.
Sumber: impactdesignhub.org
Sumber: impactdesignhub.org
Pada intinya ialah perpustakaan harus berkembang mengikuti arah perkembangan teknologi tetapi juga tetap mengedepankan orientasi pengguna perpustakaan tersebut. Jangan sampai ketika perpustakaan berkembang terlalu jauh justru tidak bisa mengakomodir kebutuhan pengunjungnya. Itu hanya akan jadi kesia-siaan belaka sebagaimana tidak tercapainya tujuan dan fungsi perpustakaan tersebut pada awalnya.
Perpustakaan, entah itu yang menganggap dirinya sebagai konvensional, modern, hybrid dan atau sebagainya memang sudah seharusnya tidak selalu mengikuti pakem yang kolot. Perpustakaan harus berbenah menuju ke area yang lebih dan semakin terbuka dengan dinamika masyarakat yang notabene sebagai penggunanya. Sebagai pengguna ataupun pustakawan, dalam kacamata saya pribadi, akan merasa lebih nyaman ketika perpustakaan menjadi area terbuka dimana kita bisa berinteraksi sekaligus bertukar informasi secara cerdas dan dalam batasan-batasan yang tidak mengekang hasrat pengguna maupun pustakawan. Perpustakaa, pustakawan dan pengunjung haruslah menjadi mitra yang bisa saling berbagi dalam kancah dunia informasi, bukan sebagai mitra vertikal yang berdasarkan kepentingan.
Referensi:
Seeye, Katharine Q. 2014. Breaking Out of the Library Mold, in Boston and Beyond. Diakses dari http://www.nytimes.com/2014/03/08/us/breaking-out-of-the-library-mold-in-boston-and-beyond.html

     PERPUSTAKAAN    dan     PERKEMBANGANNYA  DI  INDONESIA Oleh  :   AGUS WAHYU PRIUTOMO A.  Pengertian Perpusta...