Oleh: Latief Akhmad
gentasari.or.id, 29 Maret 2012
Keberadaan perpustakaan komunitas tak bisa dilepaskan dari hakikat perpustakaan itu sendiri. Konsep perpustakaan muncul sebagai akibat dari aktivitas berpikir manusia. “Cogito ergo sum,” kata Descartes, saya berpikir maka saya ada. Lalu, aktivitas pemikiran manusia menghasilkan pengetahuan, estetika, rasa, dan karya.
Pengetahuan manusia bisa dibedakan dalam dua kelompok, pengetahuan yang masih berada dalam benak seseorang (tacit knowledge) dan pengetahuan yang sudah direkam (explicit knowledge), misalnya dalam bentuk buku, keping cakram (CD), peta, dan lainnya. Perpustakaan muncul sebagai sebuah metode atau cara untuk mengorganisasi pengetahuan eksplisit manusia supaya bisa bermanfaat bagi manusia lainnya, terutama untuk menyelesaikan permasalahan sehari-hari.
Berbeda dengan perpustakaan lainnya, kunci perpustakaan komunitas adalah komunitas itu sendiri. Komunitas di sini saya pahami adalah kumpulan manusia dan lingkungannya dalam suatu spasial tertentu. Luasan spasial bisa berupa grumbul, dusun, desa, ataupun kecamatan. Perpustakaan komunitas didirikan oleh komunitas, dimanfaatkan oleh komunitas, dan koleksinya dikembangkan dari kreativitas atau pengelolaan pengetahuan komunitas. Jadi, perpustakaan komunitas adalah sebuah usaha komunitas untuk mengelola pengetahuan yang ada di komunitasnya, baik pengetahuan yang sudah terekplisitkan maupun pengetahuan yang masih berupa tacit.
Pengelolaan pengetahuan ekplisit komunitas di perpustakaan komunitas biasanya mengacu pada sistem yang sudah baku atau standar, misalnya Dewey Decimal Catalog (DDC). oleksi dipilah berdasarkan kelas dan subkelas, supaya kegiatan temu kembali koleksi mudah dilakukan. Penerapan metode DDC tidak mutlak, namun metode itu akan memudahkan komunikasi data antarperpustakaan. Komunikasi data antarperpustakaan hampir tak dapat dielakkan dalam pengelolaan perpustakaan komunitas karena sebagian dari mereka memiliki keterbatasan dalam pengadaaan dan pengembangan koleksi pustaka.
Sementara itu, pengelolaan pengetahuan yang masih berupa tacit dilakukan dengan kegiatan Mengenal Desa Sendiri (MDS). Inisiatif itu dilakukan oleh Perpustakaan Komunitas mBrosot, Kulonprogo, dengan mengajak anak-anak dan remaja bersepeda ria berkeliling kampung untuk membuat peta desa. Mereka juga menulis pelbagai hal yang menarik bagi mereka. Sementara itu, Perpustakaan Komunitas Desa Serut menjadi ruang bagi warga untuk berdiskusi membahas pelbagai masalah pertanian. Kegiatan itu menghasilkan banyak berkas, ada yang berupa cerita, gagasan, sejarah desa, peta, termasuk tatacara bertani. Akhirnya, muncul inisiatif untuk mematenkan benih padi organik yang mereka hasilkan.
Berkas-berkas itu merupakan pengetahuan anggota komunitas yang sudah direkam atau tereksplisitkan. Hal itu menguatkan konsep perpustakaan komunitas sebagai metode pengelolaan pengetahuan komunitas, bukan mendatangkan atau pengadaan koleksi buku sebanyak-banyaknya. Konsep di perpustakaan di atas mengakibatkan jarak tindakan konsumsi dan produksi pengetahuan sangat tipis. Di perpustakaan komunitas, pengguna perpustakaan tidak sekadar mengkonsumsi bahan pustaka, tapi juga memproduksinya.
Para pegiat Gerakan Desa Membangun (GDM) bisa melirik pengembangan perpustakaan komunitas sebagai metode pengelolaan pengetahuan desa. Warga diajak mendokumentasikan potensi dan sumber daya desa, selanjutnya perpustakaan mengelola karya-karya tersebut sebagai koleksi perpustakaan. Bila tindakan konsumsi dan produksi pengetahuan makin tipis, maka perpustakaan komunitas telah menjelma menjadi media komunitas untuk memperbaiki keberadaban komunitas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar